Friday, May 10, 2013

Tumpahan Perasaan yang Sengaja Dipendam Sekian Lama

Hari ini, akan kutuliskan hampir semua draft di memo hpku, percakapanku dengan diri sendiri di sebuah aplikasi chat, dan microsoft word laptopku yang sudah sekian lama kusimpan sendiri tanpa ada satu orangpun yang tahu ada cerita apa di baliknya.

Bahkan aku pun harus meyakinkan diri sendiri bahwa aku bukanlah aku, yang dulu, untuk beberapa waktu ini.

Mungkin aku butuh seseorang, atau sesuatu, untuk membagi cerita-cerita yang lama kupendam sendiri. Yang selalu jadi bahan pikiranku ketika larut dan mataku tetap tak mau terpejam. Sungguh, tujuh bulan bukanlah waktu yang singkat bagi seorang aku untuk benar-benar mengubur perasaan yang kian hari kupaksakan untuk pergi namun ia tidak bisa benar-benar pergi. Semakin kupaksa, semakin kuusahakan untuk melupakan, semakin aku teringat. Dan puncaknya, aku menangis mendengarkan sebuah lagu yang, entahlah, liriknya seperti mengisahkan kisah kita.



Aku ingat, tanggal dua puluh dua april dua ribu tiga belas, aku sedang sibuk dengan komputer lab di kampusku dan mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Namun, lagu itu tiba-tiba terputar dalam playlist. Aku terhenyak. Sekejap, aku berhenti dalam sibukku menuliskan kode-kode yang rumit, namun tak serumit perasaanku. Aku terdiam, dan tanpa kusadari pipiku basah. Mataku terasa berat. Dalam keramaian ruang laboratorium, aku harus segera menutupi kesedihanku. Tentu saja aku tidak mau teman-temanku yang selama ini mengenalku sebagai sosok yang telah melupakanmu, melihatku menangis dan menanyakan sebabnya. Sebabnya? Apalagi kalau bukan kamu.

Sialnya, lagu itu tak segera berakhir. Semesta seperti sengaja memutarkannya untukku, walaupun saat itu aku sedang tak mengingatmu. Entah apa yang kurasakan waktu itu hingga sebuah lagu pun dapat membuatku terisak sedemikian hebatnya untuk lima belas menit. Beruntung, tak satupun teman di ruangan itu menyadari isakanku. Ya, aku memang sebegitu gengsinya untuk mengakui aku masih mempedulikanmu. Masih mengingatmu. Masih mengenangmu. Dan, masih menyayangimu.

Aku selalu menutupi kesedihan serta penyesalanku mengambil keputusan secepat itu di depan semua orang, termasuk kamu. Yang teman-teman dan bahkan sahabatku tau, aku akhiri hubungan kita karena hadirnya orang baru dalam hidupku. Bukan, bukan itu alasan sesungguhnya. Alasan sesungguhnya hanya kita yang tau, dan tak mungkin dengan segamblang itu aku bisa ceritakan pada orang-orang penasaran. Di depan mereka, aku terlihat sebagai sosok yang jahat. Yang semudah itu move on dari kamu. Melupakan kamu. Bahkan tak sedikit yang mengira bahwa sudah tak tersisa secuilpun perasaan terhadapmu. Aku hanya tersenyum mengetahuinya.

Tanpa mereka dan kamu ketahui, sesungguhnya aku masih. Masih mempedulikanmu. Masih mengingatmu. Masih mengenangmu. Dan, masih menyayangimu. Tidak pernah berubah sedikitpun semua perasaanku terhadapmu. Bahkan di titik kecewa paling dalamku pun, aku tak pernah melunturkan perasaan ini untukmu. Memang tidak sekali dua kali kamu buat aku kecewa, sedih, juga marah. Namun tidak sekali dua kali juga kamu buat aku senang, pun bahagia. Pada saat-saat seperti itu, seperti apapun itu, tidak pernah hilang perasaan yang entah darimana tumbuhnya ini. Sekuat apapun aku berusaha menyingkirkannya.

Puncaknya, beberapa hari lalu. Delapan mei dua ribu tiga belas, hari di mana umurmu bertambah. Kamu akhirnya ajak aku untuk bertemu. Senang? Tentu saja. Tapi, lagi-lagi, aku harus menutupi rasa bahagia dan kangenku di depan teman-temanku, juga kamu.

Di pesan singkat yang kamu kirimkan beberapa jam sebelum kita bertemu, kamu tuliskan bahwa kamu ingin menceritakan banyak hal padaku. Ada satu perasaan insecure ketika membacanya, ada satu ketakutan. Takut kalau-kalau kamu ceritakan tentang penggantiku, pacar barumu. Dan… ketakutanku menyata.

Dalam perjalanan, kamu ceritakan tentang dia yang baru. Kamu bilang kamu sudah hampir move on dari aku. Sedih? Pasti. Lalu dengan semangatnya kamu ceritakan satu persatu detil tentang dia. Saat itu tenggorokanku tercekat, ada rasa sesak dalam dada. Namun sekuat tenaga kupertahankan air mata agar tidak terjatuh. Kupertahankan pula intonasi bicaraku agar tidak berubah dari nada yang excited menjadi nada kekecewaan. Aku berusaha menjadi temanmu. Sahabatmu. Walau jujur, hati ini sakit mendengarnya.

Hal yang sulit ketika aku harus berpura-pura baik-baik saja saat dengarkan tiap kata yang keluar dari mulutmu tentang dia. Hal yang sulit ketika aku harus berpura-pura semangat mendengarkan ceritamu tentangnya. Hal yang sulit ketika aku harus berpura-pura merelakanmu dan memberikan restu atas hubungan barumu dengannya. Tidak mudah menjalani kepura-puraan walau hanya dalam waktu beberapa jam.

Saat bersamaku waktu itu, kamu sempat tunjukkan isi pesan singkatnya padaku. Di layar hpmu tertulis, “Aku juga sayang kamu, om 19th :)” Sementara responku melihatnya bukannya, “Sayang?” melainkan, “Kok om 19th?”. Ya, itu juga salah satu bentuk kepura-puraanku yang lain.

Sedih dan kecewa memang saat membacanya. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah, “Bagaimana bisa kamu sedang bersamaku di sini dan kamu kirimkan pesan singkat yang isinya kurang lebih ‘aku sayang kamu’ pada orang lain di sana?” Kemudian aku tersadar, aku bukan siapa-siapamu lagi.

Kamu tahu, di atas motormu yang melaju perlahan itu, aku mengingat segala hal yang pernah kita lakukan bersama. Kamu tahu, di sela pembicaraan kita aku ingin sekali memelukmu dan katakan, “Aku masih sayang banget sama kamu.” namun tak kulakukan karena kutahu ada seseorang di sana yang juga menyayangimu. Dan, kau sayangi.

Ada seseorang di sana yang merasa memilikimu.

Ada seseorang di sana yang menunggumu pulang dan berkata, “Aku nggak ngapa-ngapain kok sama mantanku.”

Ada seseorang di sana yang berharap menjalani masa depan denganmu, sebagaimana harapanku, sebelum akhirnya kamu ceritakan dia.

Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa aku harus segengsi itu untuk sekadar mengakui bahwa aku masih menyayangimu?
Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa sesulit itu percayai kamu bahwa kamu sudah benar-benar berubah?
Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa baru sekarang aku ungkapkan segalanya?

Jika kamu mengenalku, kamu pasti tau bahwa aku memang gengsian.

Jika kamu mengenalku, kamu pasti tau sudah seberapa sering aku percayai kamu namun selalu berakhir dengan kekecewaan. Aku tak mau menelan rasa kecewa itu lagi ketika akhirnya aku percaya bahwa kamu memang benar berubah.

Mengapa baru sekarang aku ungkapkan segalanya? Mengapa di saat sudah hadir seseorang di sana? Apakah aku sengaja?

Tidak.

Sejujurnya, telah lama ingin ku ungkapkan semuanya padamu. Namun kamu selalu menolak untuk bertemu aku, dengan alasan, “Aku takut ketemu kamu. Takut sakit hati.” Dengan alasan yang seperti itu, aku bisa apa? Memaksamu? Siapa aku?

Kamu memang berubah menjadi jauh lebih baik sekarang. Sangat berbeda dengan kamu yang kukenal dulu. Jauh berbeda.

Namun sayangnya, perubahan baikmu itu bukan untukku.

Dia yang baru, yang menikmati perubahanmu. Yang sekarang kamu sayangi.

Aku senang kamu berubah.
Tapi aku juga sedih.
Aku kecewa.
Aku iri.
Aku ingin marah.

Sedih karena kamu dengan gamblangnya bercerita padaku bagaimana kamu berubah untuknya.
Kecewa karena kamu tidak mengusahakan agar aku merasakan bagaimana perubahan baikmu.
Iri karena dia yang baru mengenalmu yang secepat itu merasakan bagaimana perubahan baikmu.
Marah karena semudah itu kamu ungkapkan sayang pada orang baru yang datang dalam hidupmu.

Bukan hanya kamu yang didatangi oleh kehadiran orang baru yang menawarkan cinta. Aku juga. Tapi, hadirnya mereka tidak serta merta membuatku melupakanmu. Yang ada, aku makin mengingatmu karena mereka tidak sepertimu. Setiap tawa yang mereka buat untuk aku, tidak sama rasanya dengan tawa yang kamu buat. Rasanya dibonceng mereka di atas motor pun tidak sama dengan boncenganmu. Aku tidak ingin melanjutkan hidup bersama mereka. Aku ingin bersamamu kembali. Namun tidak mudah bagiku mempercayai perubahanmu seperti yang sering kamu tuliskan dalam pesan-pesan singkat yang kau kirim padaku.

Aku hanya inginkan bukti atas perubahan itu, namun kamu tidak pernah mencerna maksudku dengan baik. Ketika akhirnya kita bertemu di malam ulang tahunmu kemarin, aku melihat bukti nyata perubahanmu.

Terlambat.

Kamu sudah ungkapkan sayang pada orang lain, dan disambut.

Dia, orang yang kini kau sayangi, aku benar-benar iri padanya.

Bagaimana bisa dia mengubahmu dari seorang lelaki yang anti sosmed menjadi lelaki yang tak pernah meninggalkan aplikasi chat yang dulu sangat tidak kau sukai?
Bagaimana bisa dia mengubahmu dari seorang lelaki yang membenci hal-hal seperti menuliskan status dengan simbol hati diikuti dengan inisial seseorang atau semacamnya? Yang dulu kau anggap berlebihan dan tidak penting itu.
Bagaimana bisa dia mengubahmu menjadi seorang lelaki yang super baik dan mudah membahagiakannya? Sementara ketika kau dekati aku dulu aku tidak semudah itu dibuat bahagia olehmu?

Aku ingin membandingkan masa-masa saat kau bersamaku dan saat kau bersamanya kini.

Dulu, saat kamu masih mendekatiku, perlakuanmu padaku tidak semanis perlakuanmu padanya saat ini. Dulu, kamu tidak semudah itu mengucap “Aku sayang kamu” padaku. Dulu, kamu selalu ungkit masa lalumu dengan mantanmu di hadapanku, dan aku hanya bisa mendengar dan menyimaknya sambil berlagak baik-baik saja. Dulu, bahkan ketika sudah pacaran pun, kamu tidak henti membandingkan aku dengan masa lalumu. Dulu, kamu menyuruhku begini dan begitu hanya supaya aku bisa menjadi seperti masa lalumu. Dulu, kamu bohongi aku dan sembunyikan sesuatu dari aku hanya agar aku tidak marah, walaupun sesungguhnya aku tau apa yang terjadi.

Sekarang, saat kamu masih mendekati dia, perlakuanmu sangat manis sekali padanya hingga membuatnya tergila padamu. Sekarang, kamu sangat mudah sekali mengucap “Aku sayang kamu” padanya. Sekarang, kamu tidak pernah ungkit masa lalumu denganku di hadapannya. Sekarang, bahkan ketika belum pacaran pun, kamu tidak membandingkan dia dengan aku, masa lalumu. Sekarang, kamu tidak menyuruhnya begini dan begitu hanya supaya dia bisa menjadi seperti aku. Sekarang, kamu tidak pernah membohongi dan menyembunyikan apapun darinya hanya agar dia tidak marah.

Kamu lakukan semua itu padanya karena katamu, “Aku nggak mau ngulang kesalahan lagi.”

Sebegitu spesialnya kah dia untukmu?

Jadi, dari awal pun aku tidak pernah spesial untukmu, ya?

Aku ingin marah padamu.

Tapi apa yang bisa aku lakukan selain memendam emosi ini sendiri (lagi)?

Sudah cukup lama aku membohongi diri sendiri. Dan kemarin adalah puncaknya. Sakit. Sangat sakit.

Kamu bilang aku jahat. Dan dengan mudah kamu lanjutkan kalimatmu dengan bilang bahwa dia baik.

Aku yang temani kamu dari bawah, dan sekarang dia yang menikmati hasilnya. Bersamamu.
Aku yang suruh kamu berubah, dan sekarang dia yang menikmati hasilnya. Bersamamu.

Beruntung sekali dia.

Yang tersakit darimu adalah pesan singkat ini:
“Aku masih sayang kamu, tapi aku juga sudah sayang dia..”

Andai aku masih bisa memelukmu dan menumpahkan tangisanku di pundakmu.

Terlalu banyak yang ingin kuceritakan. Namun apa guna tulisan ini jika membacanya pun kamu tak akan pernah.



Aku ingin merasakan perubahan baikmu. Yang belum pernah kamu lakukan untuk aku yang mencoba bertahan denganmu beberapa tahun ini.

***

Kucoba dekati pada suatu hari, sebuah cinta yang telah terlewati.
Kau bersikap manis, kau curi hatiku. Namun, kau tak sendiri.
Dan di belakangmu, seseorang menunggu. Engkau sebut dia pujaan hatimu.
Ku hanya terdiam, tak dapat berkata.
Karena ku tahu, kau memilihnya..
Dan takkan ada dirimu untukku..
Berbahagialah, dirimu dan dirinya..
Kini ku sadar, ku bukanlah milik dirimu.
Ku hanya seseorang yang terlupakan..
Bayangmu yang semu, memperhatikanku.
Engkau beri satu harapan kelabu..
Dirimu dirinya, sudah tak mungkin akan berpisah.
Walau ku berharap sebaliknya..


***

Melewatkanmu di lembaran hariku..
Selalu terhenti di batas senyumanmu.
Walau berakhir cinta kita berdua.
Hati ini tak ingin dan selalu berdusta..
Melupakanmu takkan mudah bagiku.
Selalu kucoba, namun aku tak mampu..
Membuang semua kisah yang telah berlalu.
Di sudut relung hatiku yang membisu, ku merindukanmu..
Harusnya ku telah melewatkanmu..
Menghapuskanmu dari dalam benakku..
Namun ternyata sulit bagiku merelakanmu pergi dari hatiku..
Selalu ingin dekap tubuhmu,
namun aku tak bisa, karena kau telah bahagia..

4 comments:

  1. nice post :D

    ReplyDelete
  2. ;( jadi tersentuh:(hiks

    ReplyDelete
  3. Great blog..

    Would you like to follow each other on bloglovin and GFC...
    beingbeautifulandpretty.com

    ReplyDelete
  4. yang berlalu jangan dipendam lagi. biarkan berlalu, ikhlas

    ReplyDelete

Thanks for stopping by. You seem nice. You are welcome to leave any comments here.