Selamat pagi siang sore malam, saudagar-saudagar sekaliaaan!
Btw nih, suasana di kotaku saat aku nulis ini tuh lagi hujan-hujan-gemes gitu. Hawanya cocok banget buat nyeruput cokelat panas atau makan mie rebus topping telor + boncabe atau pelukan.
Sama guling.
Sambil selimutan.
Dan inget-inget kenangan sama mantan.
NTAPS!
Oke, jadi kan di blog post sebelumnya di mana aku ngerangkum 2015 Highlight-ku, aku janji bakalan cerita mengenai kekhawatiran nggak bisa survive di tempat yang bener-bener baru. Karena janji adalah hutang, maka hari ini aku mau bayar hutangku. Sedikit spoiler nih, sesungguhnya cerita ini merupakan pelajaran terbesarku di 2015. Aku juga baru ngeh kalau ini adalah pelajaran berharga selama 2015 setelah salah seorang dosenku tanya di akun ask.fm mengenai pekerjaanku waktu itu.
Emang gimana ceritanya sih kok sampe jadi pelajaran terbesar???? Sebesar apa coba pelajarannya???? Nggak lebih besar dari rasa cintaku padamu kan???? *nanyanya nggak sante*
Kalau kalian sudah baca post sebelumnya, kalian pasti tau kalau di 2015 aku diwisuda. Seperti yang banyak dilakukan oleh alumni perguruan tinggi yang sudah diwisuda lainnya, untuk menghindari rasa malas karena nggak ngapa-ngapain di rumah, aku berinisiatif buat cari kerja. Lulusan Multimedia Broadcasting—disebut juga MMB—pada umumnya nyari kerja yang nggak jauh-jauh dari dunia pertelevisian (broadcasting) atau dunia industri kreatif macem animasi, desain grafis, atau fotografi dan videografi (multimedia).
Sebagai fresh graduate alias belum punya pengalaman kerja apa-apa, aku sempat bingung. First world problem-ku saat itu adalah, “Mau ngelamar di mana?”
Ngeliat sebagian teman seangkatan sudah pada kerja di media (TV atau surat kabar), aku sempat kepikiran buat ikutan apply di media. Eh taunya pas udah nyiapin portofolio, bikin CV yang bagus, bahkan hampir beli tiket kereta buat cabut merantau ke ibukota, aku dihadapkan dengan sebuah kebimbangan *halah*. Karena aku berencana untuk melanjutkan studi, tiba-tiba yang kepikiran saat itu adalah, “Tunggu. Gimana kalau nanti aku di-hire dan diwajibkan tanda tangan kontrak dalam kurun waktu tertentu? Setahun misalnya? Terus aku nggak jadi kuliah lagi dong? Waduh, ntar kampusku dicap jelek karena udah nge-hire orang yang nggak berkomitmen. ALAMAK.”
Terdengar kepedean ya? Tapi beneran, loh. Takutnya tuh sampai kayak gitu. Bukan cuman masalah bawa nama kampus, tapi aku juga bawa nama sendiri. Kasarannya tuh gini, “Nih anak udah tau ada rencana buat lanjut sekolah, ngapa tetep apply kerjaan di posisi ini dah.” Aku kan nggak mau dianggap nggak berkompeten, gaes. :”
Akhirnya aku batalin deh tawaran kerja di media. Nyesel? Engga kok. Karena beberapa hari setelah itu, aku dapat kabar kalau ada salah satu kantor di Surabaya yang membuka lowongan untuk posisi Event Staff. Dan, yang bikin aku semangat buat apply di sana adalah: nggak terikat kontrak lama-lama alias WOW SENENG BANGET KESEMPATAN BAGUS NECH!
Setelah aku kirim berkas-berkas ngelamar kerja melalui e-mail, beberapa hari kemudian aku dapat panggilan interview. Singkatnya, setelah aku diwawancara, beberapa hari kemudian dikabarin kalau belum bisa hire karena posisinya udah keisi. Tapi recruiter-nya bilang, kalau ada event lagi, mungkin aku bakal dihubungin buat ngisi posisi itu. Oke, nggak papa.
Selang satu bulan, aku dihubungi lagi. Diminta buat datang ke kantor, tanpa bawa apa-apaan. Ya udah, aku datanglah ke kantornya. Ketemu sama recruiter dan dikasih tau apa aja job desc Event Staff. Wah, di sini aku geer dong. Rasanya pengen bilang, “INI SAYA MAU DI-HIRE YHA???? HAYO PAK NGAKU???” Tapi nggak deng, aku nggak bilang gitu.
Tunggu, sebelum aku lanjutin ceritanya, apa sih yang ada di pikiran kalian kalau denger kata Event Staff? Kira-kira kerjaannya ngapain? Bikin konsep acara, nge-handle acara dan pasca acaranya juga, gitu? Kebayang harus cari sponsor dan ide-ide kreatif? Iya?
Sorry to break it to you guys, tapi kalian salah. Apa yang ada dalam bayangan kalian (juga bayanganku) mengenai job desc Event Staff (khususnya di kantor itu), adalah salah besar. Ternyata nggak gitu :”
Waktu aku dijelasin sama bapak recruiter mengenai job desc Event Staff, rasa geer dan semangat yang membuncah, perlahan-lahan berubah menjadi rasa shock dan takut. Khawatir. Gimana nggak shock, aku apply di posisi itu karena semasa kuliah udah sering banget nanganin acara-acara dan merasa memiliki skill yang mumpuni untuk hal semacam itu. EH TAUNYA, Event Staff yang dimaksud adalah... melakukan pekerjaan Marketing.
Iya, Marketing.
Lulusan Multimedia Broadcasting, yang di kurikulumnya nggak ada mata kuliah matematika apalagi pemasaran, harus ngelakuin pekerjaan Marketing. Ini di luar zona nyaman aku banget, gaes. Bayangin dah tuh waktu itu aku ketar-ketirnya gimana. Takut nggak bisa kerja dengan baik dan benar lah, takut nggak bisa memenuhi ekspektasi recruiter lah, takut nggak bisa mencapai goal lah, dan takut-takut lainnya. Tapi, lucunya adalah, waktu recruiter tanya, “Gimana, kamu mau kerja sebagai Event Staff?” aku malah jawab, “Mau, pak!”
LAH. GIMANE SIH LAU TONG. KATANYA TAKUT????
Ya udahlah ya... karena nasi sudah dimakan alias nggak bisa balik lagi ke kantornya dan bilang, “Nggak, pak. Saya nggak mau. Kerjaannya berat. Saya nggak bisa!” (dan lagi itu berarti aku kalah sebelum perang), maka selama perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, aku cuman ngedumel. Kamu udah nerima nih, masa mau langsung diputusin?
Iya, ini masih ngomongin soal kerjaan kok.
Sampe H-1 masuk kerja pun, aku masih ketar-ketir. Nggak bisa tidur. Browsing ilmu dasar marketing biar nggak kaget. Curhat ke sana-sini sampai ngerasa lumayan tenang. Hingga akhirnya hari H pun tiba. Aku resmi jadi Event Staff di Korea Trade Investment Promotion Agency atau disebut juga dengan KOTRA. Di sana, aku bekerja sama dengan tim yang isinya tiga orang Event Staff, satu orang International Marketing Assistant, dan satu orang Senior Manager.
Setelah event yang aku handle terlaksana dengan baik dan lancar, aku sadar: berada di luar zona nyaman itu nggak selamanya menakutkan. Dengan aku keluar dari zona nyamanku dan masuk ke dunia yang sama sekali asing, banyak hal yang bisa aku pelajari. Dan yang paling penting, semua ketakutan-ketakutanku di awal nggak terbukti.
Di KOTRA, aku diharuskan untuk bisa berkomunikasi dengan siapa saja menggunakan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Mau ijin sama bos, harus pake bahasa Inggris (karena beliau orang Korea). Mau nyampein laporan pas meeting, harus pake bahasa Inggris (selain bosnya orang Korea, beberapa staf lain juga orang Korea). Selain bisa memperluas link dan relasi, aku juga bisa mengasah kemampuan berbahasa Inggris (bonus: juga belajar bahasa Korea). Yang awalnya nggak paham sama sekali dengan flow pekerjaan dalam bidang perdagangan, sekarang jadi paham walau cuman sedikit. Aku juga dihadapkan dengan beragam karakter orang yang aku temui selama kerja, baik warga lokal maupun interlokal. Dengan begini, aku belajar bagaimana berkomunikasi dengan tipe karakter yang berbeda-beda. Seru banget!
Keluar dari zona nyaman sebenarnya juga bisa jadi ajang pembuktian, “Aku tuh bisa nggak, ngerjain hal yang sama sekali bukan bidangku?” Dan ternyata, aku bisa. Aku bahkan betah loh, kerja di sana. Yaaa... bukan berarti selama kerja aku nggak stres sih. Ada saat-saat di mana kerjaan terasa banyak banget dan rasanya pengen cepet-cepet kelar aja. Tapi justru setelah aku ngerasain kerja di bidang yang ‘nggak aku banget’, aku malah berhasil nemuin hal baru yang bikin aku ngerasa seneng.
Oh iya, selain jadi ajang pembuktian ke diri sendiri kalau sesungguhnya kita tuh bisa ngelakuin banyak hal yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya, keluar dari zona nyaman juga membantu kita untuk mengelevasi diri ke level yang lebih tinggi. Kalau sebelumnya kita sudah bisa ngerjain bidang A dan B, dengan keluar dari zona nyaman, kita bakalan nambah daftar kemampuan kita di bidang C—bidang yang bener-bener baru.
Nih ya, seandainya waktu recruiter nanya, “Gimana, kamu mau kerja sebagai Event Staff?” aku malah jawab, “Waduh, maaf pak. Saya nggak ahli di bidang seperti ini, mungkin bapak bisa cari kandidat lain.”, bukan nggak mungkin kalau sampai sekarang aku nggak dapat tambahan ilmu apa-apa. Nggak dapat tambahan skill apa-apa. Nggak dapat tambahan pengalaman apa-apa.
Keluar dari zona nyaman memang menakutkan... awalnya. Tapi selagi masih muda, nggak ada salahnya kan kalau kita nyobain hal-hal baru? Setelah dicoba, beberapa hal baru mungkin ada yang cocok (kayak pengalamanku kerja di KOTRA), beberapa mungkin ada yang nggak cocok. Nggak papa. Nggak sia-sia juga. Yang sia-sia itu, kalau kalian enggan keluar dari zona nyaman dan memilih untuk tetap berada di titik yang sama. Padahal dengan melangkah keluar sedikiiit aja dari zona nyaman, kita bisa belajar mengenali diri sendiri: seberapa mampu kita, seberapa tangguh kita, dan hal-hal seperti apa yang kita suka dan nggak suka.
Anjir, post yang ini panjang amet. Kalimat terakhirnya sok iye lagi. Maafkeun yha. Tapi memang itu; pelajaran terbesar yang aku dapat di 2015. :")
Dah. Hutangnya dah aku bayar yha. :3
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kadang emang enggak perlu mikirin macem-macem, just do it wae lah :D. Aku mosok nyambung karo kuliahku bien? Bahkan, Mas0mas di imigrasi juga heran waktu wawancara, SMK Multimedia, Kuliah juga multimedia tapi kok kerjanya jualan sambel pecel? I have no idea buat njawab :D
ReplyDeletesing penting mlaku wae, engkok lak dalane ketemu dewe :D
Heeh, kebanyakan mikir malah puyeng, mas xD
Deletenggak mungkin nyasar lah yo mas, malah isok ae nemu dalan nyar :3
Wkwkwk.. sampek mripat panas loh nyi.
ReplyDeleteKok ono mantan ambek matematika.e barang loh ckck
Heeee ojok provokatif, Ghoz! :))
DeleteGood experience, Nin ;)
ReplyDeleteTuuuh kaan, Nindy emang the best lah yak!
Finally, You can do it, dear --Keluar dari zona nyaman-- hihihi
See ya :) ({})
Hehe alhamdulillah, mbak Nit. :3
Deleteyap! setuju. keluar dari zona nyaman emang awalnya menakutkan, tapi selanjutnya cuma perlu adaptasi biar terbiasa mencoba suatu hal yang baru. karena sayang, kalau kita hidup cuma sekali dan hanya melakukan hal yang itu2 aja :")
ReplyDeleteIya, mumpung masih muda, kudu puas-puasin deh cobain ini itu... tapi dalam segi positif sih ya :3
DeleteMaka dari itu, gua seneng banget nyoba hal baru dan keluar dari zona nyaman!
ReplyDeleteWah, ini nih bisa dicontoh!
DeleteBoleh juga ni gan, terimakasih banyak sudah berbagi gan...
ReplyDeletelivechat s128
s128 livechat
livechat sabung ayam s128