Harusnya aku tak terkejut saat kau berkata, "Aku membaca semua suratmu. Aku tahu itu untukku, meski tak pernah satu suratpun kau sebut namaku di situ."
Ya. Harusnya aku sudah mempersiapkan diri saat kutahu kau membaca semuanya. Semuanya, tak tertinggal barang satu atau dua surat. Ah, bukankah ini berarti kau membaca semua ungkapan hati?
Tapi tak ada yang lebih mengejutkan daripada kalimat-kalimatmu yang muncul setelah sebuah hening lama antara kita.
Kini kutahu, kau juga rasakan yang sama terhadapku. Bahkan jauh sebelum aku menyadari perasaanku sendiri. Haruskah aku bahagia karena kecurigaanku terhadap 'penolakan' yang kau berikan beberapa hari ini tak terbukti? Atau haruskah aku menyesalinya karena tak ungkapkan lebih awal?
Aku tak bisa putuskan mana ekspresi yang harus kupilih hingga kau membuka suara; menyusun kata menjadi cerita yang menggores hati perlahan, tanpa henti. Aku bahkan bisa rasakan sayatan-sayatan yang tak hasilkan darah, dengan pedih yang sangat nyata. Luka ini membelenggu bibirku, menahannya untuk tak lontarkan kalimat kesakitan. Tenggorokanku tercekat, ingin teriakkan kesedihan walau tak mampu. Mataku berat menggenggam bongkahan air mata yang kupaksa untuk tinggal. Jangan jatuh, kumohon. Namun mau tak mau, getar yang timbul dari kedua bahu membuatnya terlepas. Detik itu juga, kubiarkan tetesan ini mengalir deras. Kubuka genggaman akan semua gundah hingga lega. Walau pada akhirnya, hatiku semakin terluka.
Kau bilang, kau tak ingin menceritakannya padaku karena kau masih simpankan aku ruang dalam dada. Kau bilang, kau tak pernah yakin, apakah aku rasakan hal yang sama ataukah hanya perasaanmu saja. Kau bilang, ingin rasanya mendekapku erat sebelum semua ini terjadi.
Sebelum kau tahu perasaanku.
Sebelum kau putuskan untuk bersamanya.
Aku... terlambat.
Saat ini kau telah berdua. Tak lagi sendiri. Tak lagi bisa sempatkan waktumu untukku kapan saja. Tak lagi ada kemungkinan untuk kita bersama.
Tidak apa-apa. Menyayangimu sebagai seorang teman saja sudah menjadi hal yang istimewa. Aku yang keterlaluan, menodai pertemanan kita dengan ungkapkan apa yang tak seharusnya diungkapkan. Berbahagialah bersamanya. Aku di sini mencoba untuk tulus mendoakan bahagiamu. Meski bukan aku yang menemanimu.
Hapuslah cinta antara kita berdua,
karena kau sudah ada yang punya.
Biarlah diriku memendam rasa ini...
jauh di lubuk hatiku.
Pasuruan, 27 Februari 2015.
Dari yang (masih) menyimpan harap.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
sediiiiihhhhhhhhhh
ReplyDeletesemoga kamu segera pulih luka hatinya yaaa
semangatttt
terima kasih ya, kak. semoga segera. :")
Deletetak ada yang tau hati akan berlabu pada siapa. Namun, satu pelajaran nya jangan letakkan kebahagiaanmu pada orang lain, karena saat ia pergi mungkin engkau juga merasa kebahagiaanmu pergi
ReplyDelete