Hai.
Kita (akhirnya) sampai di penghujung tahun 2013. Satu pertanyaan klasik yang sering dan hampir selalu ditanyakan di akhir tahun, “Gimana resolusi tahun ini?”
Pertanyaan ini rupanya aku temui juga. Yah memang bukan ditanyakan langsung sih, tapi aku baca di linimasa twitter beberapa jam yang lalu. Secara nggak sadar, aku menjawab pertanyaan itu sendiri dalam hati.
“Alhamdulillah beberapa tercapai, walau yang nggak tercapai lebih banyak, sih. Heuheu..”
Seputar resolusi, aku percaya kita pasti pengen resolusi yang udah dibuat tercapai semua. Itu memang tergantung usaha kita juga sih, gimana caranya biar apa yang udah kita rencanain itu terwujud, nggak hanya jadi sekadar tulisan yang dipajang di kamar aja.
Mengenai resolusi tahun depan, 2014, aku belum tahu apa aja yang mau dimasukin dalam list. Mungkin resolusi yang belum tercapai di tahun ini bakalan kumasukin lagi, biar aku usaha lebih keras lagi untuk mewujudkannya. Bagaimana dengan kalian? Sudah menyiapkan daftar resolusi untuk tahun depan? Sudah berapa nomor yang dicoret dari resolusi tahun ini?
Well, pergantian tahun identik dengan perayaan malam tahun baru. Itu tuh, perayaan di mana kebanyakan orang bakalan keluar entah ke mana sambil tiup-tiup terompet di malam tanggal 31 Desember. Nah, aku punya beberapa cerita nih mengenai perayaan malam tahun baru.
Beberapa tahun yang lalu, waktu aku masih jaman labil dan ngebet pengen gawul, (seriously, an ugly confession to make) sekitar kelas 3 SMP, aku pernah ngajakin mama papa dan adek buat ngerayain tahun baru di Surabaya. Awal keberangkatan sih kami berencana nginep di rumah nenek. Maka berangkatlah kami selepas maghrib.
Sampai di jalan tol, semuanya baik-baik aja. Aku mendengarkan radio EBS (masih ingat banget) untuk membunuh waktu. Hingga tibalah kami di suatu jalanan Surabaya yang biasanya sepi dan nggak seberapa ramai.
Di jalanan itu, yang nggak terlalu lebar, rasanya aku seperti melihat seluruh penduduk Surabaya tumplek blek jadi satu di sana. Banyak motor bertebaran, orang yang berjalan kaki, juga mobil yang berjarak 10 meteran dari mobil lain karena di sela-selanya udah dipenuhi motor. Macet. Nggak gerak. Papa yang nyetir mulai panik. Mama ikutan. Aku dan adek yang duduk di jok belakang tetep stay cool.
Karena waktu itu mobil cuman bisa jalan dua meter sekali per lima menitan, alhasil mesin mobil (atau bagian yang lain entah apanya) jadi cepet panas. Termometer penunjuk suhu mobil mulai naik. Papa mulai berbicara macam-macam tentang peluang mogok dan mama mulai sebel karena ngebayangin mobil mogok di tengah keramaian macam itu.
Dan… ternyata beneran mogok.
Tapi untungnya, mogoknya waktu udah di ujung jalanan tadi. Udah dekat jalan raya. Jadi nggak seberapa menyusahkan buat beberapa orang sekitar yang dimintai tolong oleh papa buat ngedorong mobilnya. Aku masih ingat, selama aku berada di kemacetan tadi (sebelum mobil mogok) aku sempat ngelihat kembang api meluncur banyak banget di langit Surabaya. Itu tandanya tahun udah resmi berganti. Udah fix. Official.
Berarti, waktu mobilnya mogok udah berganti tahun, dong?
Yoi, bray. Udah sekitar jam 1-an dini hari gitu lah. Kami terjebak di kemacetan selama kurang lebih 4-5 jam. Bayangkan gimana betenya mama dan papa. Aku sama adek sih tetep stay cool *walaupun aslinya juga sebel*
Nah, sekelumit kisah pergantian tahun yang kulalui dengan insiden mobil mogok ini pernah jadi bahan essay buat tugas bahasa Inggris waktu kelas satu SMA. Yaaah, buat apa kita dapat pengalaman kalau nggak bisa dijadiin karya, betul bukan pemirsah? (--,)>
Kisah perayaan malam tahun baru lain adalah saat aku melewatinya dengan menghadiri sebuah acara band di satu tempat yang nggak jauh dari rumah. Dekat banget, malah. Dari rumah menuju tempat cuman sekitar 2-3 menitan.
Waktu itu, band-nya mantan jadi pengisi acara di event tahun baru yang kudatangi ini. Sebagai pengisi acara, nggak mungkin dong band mereka datangnya mepet. Maka jadilah aku diajak dan kami datang lebih awal, sekitar jam 6-an habis maghrib gitu. Di sana, mereka (band-nya mantan) prepare segala macem mulai dari dandanan, peralatan, dan lain lain. Aku sih, sebenarnya nggak terlalu suka datang ke acara model beginian. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Nyemil, nonton film, gegoleran di kasur, dan lain sebagainya.
Yang namanya event band, asap rokok itu sudah pasti built in lah ya. Dan aku, sayangnya, nggak kuat kena asap. Apapun. Apalagi asap rokok. Sekali nggak sengaja kehirup aja udah pasti tenggorokan aku sakit dan dada mulai sesak, apalagi sengaja ngehirup. Nah di sana, teman-temannya si mantan ini banyak banget yang ngerokok. Aku cuman bisa nutupin hidung sama rambut (yang untungnya) panjang *dulu aku belum pakai kerudung, fyi*
Teman-temannya mantan pada nanyain aku kenapa. Mau buka mulut buat ngejawab kayanya nggak mungkin, jadi aku geleng-geleng doang. Dari sikapku yang mungkin bagi mereka ngebetein, akhirnya aku ditinggalin sendirian di bawah panggung dan mereka melenggang ke backstage. Sebel sih, banget. Tapi ya udahlah, toh aku bisa apa. Ngelihat wajahku yang mulai jutek dan merengek minta pulang, si mantan berniat nganterin pulang. Tapi… ya dasar emang abege labil. Di perjalanan pulang yang seharusnya cuman dua menit itu, kami masih sempat-sempatnya berantem. Ujungnya malah muter cari jalan yang lebih panjang buat nyelesai-in berantemnya kita. Sampai rumah jam sebelas malam. Pulang pulang aku nangis, trus papa ngelarang buat keluyuran pas malam tahun baru lagi. Pengakuan ternista ini sih. :)))
Dari dulu aku memang nggak terlalu suka keramaian. Mungkin di beberapa acara bisa aku tolerir, tapi acara yang sumpek dan terlalu tumpah ruah kaya gitu, aku nggak bisa tahan banget. Mangkanya, perayaan malam tahun baruku yang dihabiskan dengan keluyuran ke tempat nggak jelas gitu ya cuman yang aku ceritakan tadi. Sisanya pasti di rumah teman, bakar jagung bareng, nonton bareng, dan diakhiri dengan nyalain kembang api di halaman rumah mereka. Atau nggak, pasti aku di rumah aja, beli atau bikin snack sebanyak mungkin, lalu dihabisin bareng keluarga, dan nonton film bareng sambil dengerin suara kembang api dari dalam rumah. Nindy anak rumahan banget. :))
Oh iya, jam sembilan malam tadi, aku sama papa keluar ambil pesanan martabak manis di jantung kota Pasuruan. Sebenarnya agak malas sih, keluar jam segitu di tanggal 31 Desember. Tapi ya gimana…
Selama perjalanan menuju TKP, aku melihat banyak banget ibu-ibu, bapak-bapak, balita-balita, abege-abege yang naik motor tapi pada nggak pake helm. Di setiap sudut jalan sudah siap siaga tiga orang polisi dan/atau polwan loh, padahal. Tapi ya sama bapak dan ibu polisinya dibiarin aja gitu. Nggak ngebayangin kalau sampai kenapa-napa gitu kan ya nggak seru (ini bukan ngedoain), kok pas malam tahun baru...
Trus nih, tadi sempat macet gitu kan di daerah Diponegoro (yang anak Pasuruan pasti tau), nah di samping kanan jalan ini ada segerombolan ibu-ibu lagi jalan. Di belakang motor yang kunaiki, ada segerombolan (juga) cowo-cowo urakan yang pada nggak pake helm dan suka ngebleyer motor. Eh tau nggak mereka pada bilang apa?
“Woy ibu ibu arisan!”
Nggak sopan amat sih.
Ini nih, bikin aku risih pol dan juga bergidik ngeri. Kenapa ngeri? Ya abisan mereka urakan gitu. Mana macet dan seisi jalanan penuh pula. Kalau mereka sengaja/nggak sengaja nabrakin motornya ke motorku gimana? Tapi kengerianku berhasil kutaklukkan, karena seketika itu juga aku menyadari kalau aku lagi dibonceng papa. Jadi, amaaaan.
Adanya gerombolan urakan seperti yang kutulis tadi juga merupakan salah satu alasan kenapa aku nggak suka keluyuran ke luar rumah waktu ada event-event macam begini. Belum lagi bunyi terompet yang tiba-tiba ‘TEEEEET’, memekikkan telinga. Udahlah aku ini kagetan, dikasih bunyi-bunyian kaya gitu. Kagetnya jadi campur bete, kan.
Well, itu tadi sekelumit cerita dari aku tentang perayaan malam tahun baru. Apa cerita perayaan malam tahun baru kalian?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for stopping by. You seem nice. You are welcome to leave any comments here.