Tiada yang bisa mengalahkan kelegaan setelah mencurahkan isi hati pada seorang ibu. Mendengar suara mama di seberang telepon sana, hatiku rasanya plong. Dengan sabar mama mendengarkan segala keluh kesahku melalui sambungan telepon. Aku bercerita ini dan itu hingga tak sadar suaraku mulai bergetar, makin lama makin terbata. Lalu dengan suara lembutnya mama berkata, “Udah nggak usah nangis… Nggak apa-apa nak, nggak usah dipikir…” Aku hanya mampu terdiam.
Kemudian mama melanjutkan ucapannya. “Ini cuman kerikil kecil, nggak usah terlalu dipikir. Berarti mbak Kiky ini udah melewati proses jadi calon pemimpin. Kamu kalau mama lihat kan sudah berubah, dulu dikit-dikit nangis, sekarang sudah mulai tegar. Kamu harus tegas, nak. Kalau kamu nggak bisa ngatasin gini aja, nanti gimana kalau di luar negeri, nggak ada mama? Hayo…”
Tangisanku makin menjadi.
Ah, mama ini. Tak pernah kulewati seharipun tanpa bersyukur pada Allah karena mengirimiku malaikat seperti mama. Setiap masalah apapun yang membebani, terasa ringan begitu aku membagi cerita dengan mama.
“Udah, sekarang mbak Kiky istirahat aja. Kamu di mana sekarang? Udah makan? Udah solat? Kalau malam gini nggak apa-apa minum demacolin aja. Ndang sembuh, jangan sakit-sakitan, jangan kecapekan…”
Entahlah, diperhatikan mama seperti ini harusnya aku merasa senang. Aku memang senang, namun air mata tetap tak henti mengucur deras membasahi pipi. Menceritakan apa yang membuat sesak hati pada mama terkadang memberikanku perasaan bersalah. Mama sudah terlalu banyak beban pikiran, dan sekarang, aku malah menambahi pikiran mama. Tapi harus pada siapa lagi aku bercerita kalau bukan pada mama? Hanya mama yang mengerti aku, yang mampu membuatku tenang, penyemangat hari-hariku kala aku bersedih.
Aku rindu mama.
Maafkan aku karena selalu menjadi beban untukmu, Ma. Doakan semoga aku bisa segera membahagiakanmu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for stopping by. You seem nice. You are welcome to leave any comments here.