Barangkali ada penghargaan untuk Perempuan yang Tak Ingin Melukai Hati Siapapun, mungkin penghargaan itu akan dengan sendirinya berlarian menujumu. Bukan tanpa sebab aku berkata demikian, lihatlah dirimu. Selalu berusaha untuk berkata "Ya" pada mereka yang kau jumpai. Entahlah, apakah ada sesuatu yang mengganjal jika satu kali saja kau ucapkan "Tidak"?
Tak ada maksud untuk mencampuri urusanmu. Siapalah aku ini yang berhak mendiktemu perihal apa yang harus dan tak harus kau lakukan. Ini hidupmu, terserah padamu akan kau apakan sisa usiamu nanti. Namun aku terlalu menyayangimu untuk membiarkan kau menyenangkan hati orang lain, tapi melupakan kebahagiaan diri. Kau boleh saja mencoba bahagiakan aku, kami, mereka. Tapi kau tak boleh lupakan batinmu. Aku tak ingin terkesan menggurui, tapi ingatlah satu hal: jika kau mencoba untuk senangkan orang lain, satu-satunya orang yang kau kecewakan adalah dirimu sendiri.
Sudah berulang kali aku membujukmu untuk rehat sejenak dari rutinitas yang terlihat tanpa henti itu. Berulang kali pula kau yakinkan aku bahwa kau kuat, kau baik-baik saja, kau masih sanggup. Padahal sorot matamu memberitahuku, kalau kau butuhkan tempat bersandar. Kau butuhkan tempat berbagi barang sebentar. Kau butuhkan tempat menopang beban.
Aku tahu kau selalu inginkan yang terbaik untuk semua orang. Tapi kau juga tahu kan, tidak semua orang memahami usahamu. Terlampau sering kita memperdebatkan persoalan kau-tak-harus-selalu-ucapkan-ya. Tapi percuma saja beradu argumen denganmu. Kau seakan punya segudang alasan untuk meyakinkanku, juga orang-orang di luar sana, bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa kau siap membantu. Bahwa kau punya waktu luang yang tak terhingga. Bahwa stok tenagamu selalu terisi penuh.
Akuilah saja, kau tidak sekuat itu.
Tidak ada manusia yang sekuat itu, tak peduli bagaimanapun kau coba tanamkan sugesti dalam benak. Sudahlah, kau tak perlu risau. Masih ada aku dan mereka yang menyayangimu, yang memerhatikan kesehatanmu.
Jangan terlalu paksakan dirimu, mbak Nit. Bahkan Allah melarang kita untuk mendzalimi diri sendiri, begitu bukan?
Mari sejenak kita lupakan kewajiban untuk membahagiakan tiap jiwa. Dan mulai membahagiakan apa yang sepatutnya dibahagiakan: batin dan raga yang terlupakan.
Surabaya, 21 Februari 2015.
Dari yang berada di sebelahmu saat menulis surat ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bahagia dulu, baru bisa bikin yang lain bahagia. semangat yaa
ReplyDeleteNah. Setuju, kak! Mbak Nit, baca nihhh
Deletehahaha, aku udah baca semua :3
ReplyDeletetunggu balasanku :p
hahahahahaha mau dibales apa sih, mbak? :p (apa lo ya, bukan siapa atau gimana)
Delete