Mungkin tulisan ini lebih tepat bila disebut sebagai memo kecil dibanding surat. Tujuanku menuliskannya sebagai pengingat pada diri, dan juga kau tentunya, bahwa aku sangat menyayangimu.
Pagi tadi aku terbangun dengan sebuah mimpi buruk. Seketika saja aku terduduk dengan nafas yang memburu. Gelisah, seakan sedang dikejar sesuatu. Untuk beberapa detik pertama aku terdiam, kemudian di detik berikutnya tak henti kuucapkan istighfar berulang kali. Dadaku rasanya sakit, ingin sekali kutumpahkan air mata. Namun nyatanya tak bisa. Saat kesadaranku pulih bahwa semua yang kualami hanyalah bunga tidur, langsung kucari ponselku. Ingin meneleponmu tapi ku tahu kau sangat sibuk pada menit itu. Kutinggalkanlah pesan singkat untukmu.
Beberapa jam berlalu, aku mulai memahami bahwa apa yang kualami adalah fana. Tak nyata. Walau entah mengapa terasa begitu riil. Kutengok kembali layar ponselku, membuka pesanmu yang tak sempat kubaca. Di antara tiga baris yang kau tulis, aku baru sempat membaca barisan teratas. Katamu, kau selalu memaafkanku, bahkan ketika aku belum memintanya. Lalu ponselku berdering.
Kau selalu menjadi orang pertama yang akan mendengar segala suka dukaku. Juga menjadi orang pertama yang menyabet gelar sebagai sahabat terbaikku. Kau selalu ada untukku, tahu kapan aku butuhkan belaian lembut setelah sepanjang hari merengut. Tak pernah lelah menegur kesalahanku, dan tak henti menjadi penyemangat tiap aku merasa penat.
Terima kasih karena selalu berada di sana, Mama. Maaf untuk semua kesalahanku padamu.
Surabaya, 10 Februari 2015.
Dari yang menjadikanmu role model.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Membaca suratmu dengan secangkir kopi memang begitu nikmat, tak mampu berhenti :)
ReplyDeleteMakasih. :))
Deletewah ini bagus nih kalimatnya :))
ReplyDeletewah ini bagus nih kalimatnya :))
ReplyDeleteterima kasih yaa! :))
Delete