Hai.
Kita (akhirnya) sampai di penghujung tahun 2013. Satu pertanyaan klasik yang sering dan hampir selalu ditanyakan di akhir tahun, “Gimana resolusi tahun ini?”
Pertanyaan ini rupanya aku temui juga. Yah memang bukan ditanyakan langsung sih, tapi aku baca di linimasa twitter beberapa jam yang lalu. Secara nggak sadar, aku menjawab pertanyaan itu sendiri dalam hati.
“Alhamdulillah beberapa tercapai, walau yang nggak tercapai lebih banyak, sih. Heuheu..”
Seputar resolusi, aku percaya kita pasti pengen resolusi yang udah dibuat tercapai semua. Itu memang tergantung usaha kita juga sih, gimana caranya biar apa yang udah kita rencanain itu terwujud, nggak hanya jadi sekadar tulisan yang dipajang di kamar aja.
Mengenai resolusi tahun depan, 2014, aku belum tahu apa aja yang mau dimasukin dalam list. Mungkin resolusi yang belum tercapai di tahun ini bakalan kumasukin lagi, biar aku usaha lebih keras lagi untuk mewujudkannya. Bagaimana dengan kalian? Sudah menyiapkan daftar resolusi untuk tahun depan? Sudah berapa nomor yang dicoret dari resolusi tahun ini?
Well, pergantian tahun identik dengan perayaan malam tahun baru. Itu tuh, perayaan di mana kebanyakan orang bakalan keluar entah ke mana sambil tiup-tiup terompet di malam tanggal 31 Desember. Nah, aku punya beberapa cerita nih mengenai perayaan malam tahun baru.
Tuesday, December 31, 2013
Monday, December 30, 2013
Hal Ini #16
Siapa yang tidak suka bermimpi indah?
Pertanyaan sederhana ini punya satu jawaban yang pasti: tak satupun.
Seperti halnya orang kebanyakan, aku suka sekali bermimpi. Berangan-angan. Berkhayal. Yang bagi sebagian orang mungkin itu adalah hal bodoh yang tidak seharusnya dilakukan lagi oleh seorang gadis berusia hampir sembilan belas tahun.
Pagi tadi, aku terbangun dengan mimpi indah. Tentangmu.
Dalam mimpiku semalam, kau tiba-tiba saja datang membantu motorku yang tak mau menyala. Lalu kau membawaku ke sebuah tempat yang aku tak tahu apa dan di mana. Setibanya di tempat itu, kau bercerita banyak hal. Kau menarik dan menggenggam tanganku, lebih dekat ke arahmu, semakin dekat. Kau berceloteh ini itu dan aku tersenyum sangat antusias mendengarnya. Lalu kau membawaku berjalan pergi, ke suatu tempat yang asing dan menyeramkan. Di tengah ketakutanku, kau mendekapku dan menggendongku.
Sampai di cerita ini, aku tersenyum bahagia --dalam mimpi--. Di atas lenganmu aku berbaring, melingkarkan kedua tanganku ke lehermu, masih ketakutan. Namun kau meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku menenggelamkan kepalaku dalam dadamu yang nyaman. Melihatku seperti itu, kau mengecup pipiku. Lembut dan hangat.
Mimpi indahku ini terlalu panjang untuk dituliskan, biarlah cukup aku dan mimpiku yang tahu cerita lengkapnya. Bahkan dalam mimpi saja, kau terlalu indah untuk diceritakan.
Saat aku membuka mata, aku terduduk terdiam. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi dalam mimpi --yang sesungguhnya ingin sekali kuharapkan menyata--. Tak bisa kuelakkan, senyum pun mengembang dari wajahku yang awut-awutan akibat istirahat yang terlalu nyenyak. Namun seketika kusadari, ini semua hanyalah mimpi.
Aku merindukan saat-saat di mana kenyataan jauh lebih indah dibanding mimpi. Sudah cukup lama aku tak merasakannya. Aku ingin kembali bersemangat menyambut hari-hari yang melelahkan. Aku ingin kau yang menjadi penyebabnya.
Ah, andai saja seluruh keindahan pagi tadi bukanlah sebuah mimpi belaka.
Hal Ini #15
"Menulislah ketika suaramu tak didengar. Menulislah ketika pendapatmu dibantahkan. Menulislah ketika idemu diabaikan. Yang terpenting, menulislah ketika kamu ingin. The power of writing."
"Kalo dengan membaca adalah kita bisa melihat dunia lalu menurutku dengan menulis dunia akan melihat kita..."
"Cuma passion yang bikin bekerja bagaikan berkarya."
-Beberapa penggal kalimat yang kudapat setelah membaca blogpost ini tentang kenapa menulis. Cukup mewakilkan perasaan.
Hal Ini #14
Pernahkah kau rasakan, saat kau begitu semangat akan sesuatu namun tiba-tiba saja sesuatu atau seseorang mematahkan semangatmu?
Aku sedang merasakannya. Sekarang.
Menulis tidak pernah membuatku tidak bergairah. Bahkan bisa kukatakan, menulis adalah salah satu obat akan kesedihan dan kesepianku. Karena hanya dengan menulis, aku bisa bercerita banyak hal. Menulis juga menjadi salah satu tempat pelarianku ketika tidak ada yang mendengar. Memangnya sejak kapan ada yang mau mendengarku?
Ada yang mau mendengarku. Mama dan Allah. Tanpa kehadiran mama dan Allah, aku tidak tahu akan jadi apa aku ini. Tersiksa beban hidup sendiri tanpa seorang pun berniat menawarkan bantuan. Jangankan bantuan, untuk sekadar menjadi tempatku berkeluh kesah pun, tak terbesit di pikiran mereka.
Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan saat ini. Sedih, tidak bergairah, kecewa, entahlah. Seperti aku tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Allah untukku. Tapi aku sungguh bertanya-tanya, hal apakah yang demikian hebatnya mampu membuat gairah menulisku tak lagi membara seperti beberapa jam yang lalu? Aneh sekali karena aku benar-benar tak mengetahui apa sebabnya.
Friday, December 27, 2013
Hal Ini #13
Halo.
Mungkin untuk beberapa waktu ke depan, hingga hari Minggu, aku tidak dapat meramaikan blog ini dengan tulisan #30HariMenulis karena suatu kesibukan. Maka, dengan sangat berat hati, aku meminta ijin (pada diri sendiri) untuk bolos hingga hari Minggu, dan membayar hutang menulis di hari berikutnya sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan. Maaf sekali. :(
Oh, iya. Aku ingin bertanya, pernahkah kalian dikecewakan seorang teman dekat? Mmm..., seorang sahabat, misalnya?
Aku pernah. Hampir selalu.
Namun aku tidak pernah bercerita kepada siapapun mengenainya. Bahkan pada mama pun tidak. Bukan maksudku melindungi atau menutupi apa yang sudah mereka lakukan padaku, tapi rasa-rasanya, hal-hal seperti dikecewakan itu pasti akan menimbulkan luka. Dan ketika aku menceritakan luka itu pada orang lain, akan semakin sulit bagiku untuk menyembuhkannya. Maka kuputuskan saja untuk tidak berbagi cerita perihal dikecewakan sahabat kepada siapapun, kecuali Allah.
Kalau kalian pikir aku ini cuek, tidak pedulikan apapun yang menghadang, rintangan, halangan, bahkan perasaan, sudah bisa dipastikan, kalian salah besar. Jauh di balik itu semua, aku menyimpan apa yang menjadi beban pikiran rapat-rapat. Aku memang terlihat bagaikan seorang yang sangat ekstrovert menurut tampilan luar.
Kadang aku berpikir, mungkinkah aku memiliki kepribadian ganda; sebagai seorang introvert dan ekstrovert? Lalu apakah di luar sana ada yang seperti aku? Yang berusaha tampak ceria luar biasa dan baik-baik saja walau sesungguhnya kesepian dan butuh pendengar? Kalau toh memang ada, aku ingin bergabung. Siapa tahu kalian dan aku, kita, dapat saling bertukar cerita dan menjadi pendengar yang baik bagi yang sama membutuhkannya sepertiku.
Mungkin untuk beberapa waktu ke depan, hingga hari Minggu, aku tidak dapat meramaikan blog ini dengan tulisan #30HariMenulis karena suatu kesibukan. Maka, dengan sangat berat hati, aku meminta ijin (pada diri sendiri) untuk bolos hingga hari Minggu, dan membayar hutang menulis di hari berikutnya sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan. Maaf sekali. :(
Oh, iya. Aku ingin bertanya, pernahkah kalian dikecewakan seorang teman dekat? Mmm..., seorang sahabat, misalnya?
Aku pernah. Hampir selalu.
Namun aku tidak pernah bercerita kepada siapapun mengenainya. Bahkan pada mama pun tidak. Bukan maksudku melindungi atau menutupi apa yang sudah mereka lakukan padaku, tapi rasa-rasanya, hal-hal seperti dikecewakan itu pasti akan menimbulkan luka. Dan ketika aku menceritakan luka itu pada orang lain, akan semakin sulit bagiku untuk menyembuhkannya. Maka kuputuskan saja untuk tidak berbagi cerita perihal dikecewakan sahabat kepada siapapun, kecuali Allah.
Kalau kalian pikir aku ini cuek, tidak pedulikan apapun yang menghadang, rintangan, halangan, bahkan perasaan, sudah bisa dipastikan, kalian salah besar. Jauh di balik itu semua, aku menyimpan apa yang menjadi beban pikiran rapat-rapat. Aku memang terlihat bagaikan seorang yang sangat ekstrovert menurut tampilan luar.
Kadang aku berpikir, mungkinkah aku memiliki kepribadian ganda; sebagai seorang introvert dan ekstrovert? Lalu apakah di luar sana ada yang seperti aku? Yang berusaha tampak ceria luar biasa dan baik-baik saja walau sesungguhnya kesepian dan butuh pendengar? Kalau toh memang ada, aku ingin bergabung. Siapa tahu kalian dan aku, kita, dapat saling bertukar cerita dan menjadi pendengar yang baik bagi yang sama membutuhkannya sepertiku.
Thursday, December 26, 2013
Hal Ini #12
Aku tak tahu harus bersikap bagaimana ketika sedang berhadapan denganmu. Haruskah aku tersenyum lalu menanyakan kabarmu, ataukah melenggang bebas dan berlagak mengacuhkanmu? Keduanya sulit dan tak ingin kulakukan. Namun aku butuh petunjuk perihal cara menghadapimu.
Kau bukan momok yang harus kutakuti, bukan pula artis yang pasti digemari. Kau hanyalah kau, seseorang yang mampu buat tidurku tak nyenyak karena pikirkan waktu untuk kita bertemu yang entah kapan.
Tapi fakta sederhana bahwa kau adalah kau sungguh menyiksa. Sebab, itulah yang kini menghantuiku ke manapun kupergi.
Sebelum ruang hati ini kau sesaki, aku tidak pernah mempedulikan gaya bicaraku padamu. Aku juga tidak pernah mempedulikan penampilanku yang sekenanya ketika berjumpa denganmu. Aku juga tidak pernah memperhatikan apa saja yang kau suka dan tidak sukai dari seorang gadis. Karena dulu, semua hal tentangmu tak dapatkan peranan penting dalam hidupku.
Kini, setelah segalanya berkebalikan, aku mencemaskan keadaanku sendiri. Bisa kubilang aku tak lagi percaya diri ketika mata kita tanpa sengaja bertemu. Atau memang sengaja kita pertemukan --karena terlibat sebuah pembicaraan--. Aku tak lagi tahu langkah apa yang harus kuperbuat selanjutnya setelah kita terdiam beberapa saat dengan pandangan mata yang sama-sama belum lepas.
Sejujurnya aku bertanya-tanya, apakah kau juga rasakan hal yang sama? Rasakan kebingungan atas apa yang akan kau lakukan ketika bertemu denganku? Sungguh, aku ingin tahu.
Kau bukan momok yang harus kutakuti, bukan pula artis yang pasti digemari. Kau hanyalah kau, seseorang yang mampu buat tidurku tak nyenyak karena pikirkan waktu untuk kita bertemu yang entah kapan.
Tapi fakta sederhana bahwa kau adalah kau sungguh menyiksa. Sebab, itulah yang kini menghantuiku ke manapun kupergi.
Sebelum ruang hati ini kau sesaki, aku tidak pernah mempedulikan gaya bicaraku padamu. Aku juga tidak pernah mempedulikan penampilanku yang sekenanya ketika berjumpa denganmu. Aku juga tidak pernah memperhatikan apa saja yang kau suka dan tidak sukai dari seorang gadis. Karena dulu, semua hal tentangmu tak dapatkan peranan penting dalam hidupku.
Kini, setelah segalanya berkebalikan, aku mencemaskan keadaanku sendiri. Bisa kubilang aku tak lagi percaya diri ketika mata kita tanpa sengaja bertemu. Atau memang sengaja kita pertemukan --karena terlibat sebuah pembicaraan--. Aku tak lagi tahu langkah apa yang harus kuperbuat selanjutnya setelah kita terdiam beberapa saat dengan pandangan mata yang sama-sama belum lepas.
Sejujurnya aku bertanya-tanya, apakah kau juga rasakan hal yang sama? Rasakan kebingungan atas apa yang akan kau lakukan ketika bertemu denganku? Sungguh, aku ingin tahu.
Wednesday, December 25, 2013
Hal Ini #11
Satu hal yang kusadari menjadi sisi freak dalam diri: aku suka mencari sesuatu yang berhubungan denganku di kolom pencarian Google.
Iya.
Sangat aneh, begitukah menurutmu?
Aku tidak tahu sejak kapan aku suka menuliskan nama lengkapku sendiri, menuliskan judul blogku, menuliskan username twitter, bahkan beberapa penggal kalimat yang kutulis dalam satu blogpost di search bar Google. Namun, dari hobi anehku ini, aku jadi tahu beberapa hal yang mengejutkan. Yang akan kuceritakan ini salah satunya.
Niat awalku, ingin tahu siapa saja yang kira-kira mengikuti keisenganku melanjutkan proyek #30HariMenulis. Maka, kutulis saja #30HariMenulis dalam kolom pencarian, lalu kutekan tombol Enter. Sejurus kemudian, muncullah beberapa blog dengan tag yang sama. Sebelum aku mulai kegeeran, kuperhatikan tanggalnya. Tahun 2010.
Kaget.
Mungkinkah ada orang sebelum aku yang sudah menemukan ide ini terlebih dahulu?
Dari pada dibunuh rasa penasaran, kuarahkan kursor mouse menuju satu hasil teratas. Klik. Kubaca baik-baik, dan... yak. Ternyata memang sudah ada orang sebelum aku yang menemukan ide ini terlebih dahulu.
Namun setelah kubaca konsep sang penggagas dengan cermat, aku sedikit lega karena kami memiliki gagasan yang berbeda. Ide sebelumnya adalah menulis di blog selama 30 hari dengan satu hari satu tulisan, dan format judul tulisan adalah Day 1: [Judul Tulisan], Day 2: [Judul Tulisan], begitu seterusnya.
Hmm, seandainya saja aku tahu hal ini lebih awal, mungkin aku akan melanjutkan gagasan itu. Visi kami sebetulnya sama, ingin lebih produktif dalam menghasilkan tulisan dan yang terpenting, istiqomah. Jadi, mari kita lanjutkan saja misi #30HariMenulis versi milikku ini hingga 16 Januari tahun depan.
Iya.
Sangat aneh, begitukah menurutmu?
Aku tidak tahu sejak kapan aku suka menuliskan nama lengkapku sendiri, menuliskan judul blogku, menuliskan username twitter, bahkan beberapa penggal kalimat yang kutulis dalam satu blogpost di search bar Google. Namun, dari hobi anehku ini, aku jadi tahu beberapa hal yang mengejutkan. Yang akan kuceritakan ini salah satunya.
Niat awalku, ingin tahu siapa saja yang kira-kira mengikuti keisenganku melanjutkan proyek #30HariMenulis. Maka, kutulis saja #30HariMenulis dalam kolom pencarian, lalu kutekan tombol Enter. Sejurus kemudian, muncullah beberapa blog dengan tag yang sama. Sebelum aku mulai kegeeran, kuperhatikan tanggalnya. Tahun 2010.
Kaget.
Mungkinkah ada orang sebelum aku yang sudah menemukan ide ini terlebih dahulu?
Dari pada dibunuh rasa penasaran, kuarahkan kursor mouse menuju satu hasil teratas. Klik. Kubaca baik-baik, dan... yak. Ternyata memang sudah ada orang sebelum aku yang menemukan ide ini terlebih dahulu.
Namun setelah kubaca konsep sang penggagas dengan cermat, aku sedikit lega karena kami memiliki gagasan yang berbeda. Ide sebelumnya adalah menulis di blog selama 30 hari dengan satu hari satu tulisan, dan format judul tulisan adalah Day 1: [Judul Tulisan], Day 2: [Judul Tulisan], begitu seterusnya.
Hmm, seandainya saja aku tahu hal ini lebih awal, mungkin aku akan melanjutkan gagasan itu. Visi kami sebetulnya sama, ingin lebih produktif dalam menghasilkan tulisan dan yang terpenting, istiqomah. Jadi, mari kita lanjutkan saja misi #30HariMenulis versi milikku ini hingga 16 Januari tahun depan.
Hal Ini #10
Maafkan karena kemarin tidak sempat menuliskan sesuatu untuk proyek #30HariMenulis. Sebagai gantinya, aku akan membuat dua tulisan hari ini.
Kemarin, sahabat lama sekaligus (mantan) teman satu kamar kos, Ayu, akhirnya menemukan kesempatan untuk bertemu aku dan teman-teman lain. Senang? Bahagia? Gembira? Sudah pasti. Kami sudah lama menanti saat kepulangan Ayu ke Surabaya, bahkan kami sudah membuat daftar apa-apa saja yang akan dilakukan selama Ayu di Surabaya.
Tapi...
Ternyata harapan nggak sejalan dengan kenyataan. Ayu cuman punya waktu nggak sampai dua hari di Surabaya. Kemarin dia datang pukul delapan malam, yang artinya nggak memungkinan bagi kami untuk menghabiskan waktu di luar. Setelah melalui satu diskusi panjang, akhirnya kami putuskan untuk mengenang masa-masa ketika Ayu masih merantau di kota yang sama dengan kami esok hari (hari ini).
Pagi ini, kami mengawali hari dengan pergi ke kampus. Awalnya sih, karena aku memang ada kumpul untuk satu acara jurusan, namun ternyata Ayu menyusulku dan kami berjumpa beberapa teman. Selepas dari kampus kami beranjak mencari tempat makan. Kami berangkat berlima; Ayu, Aku, Yesi, Ravita, dan Sarah. Tapi setelah makan siang, Sarah terpaksa balik duluan karena ada janji. Yah, walau tanpa Sarah, acara melepas rindu bareng Ayu harus tetep jalan, dong! Makaaa, kami pun tancap gas menuju Tunjungan Plaza (TP).
Tentu saja di sana kami tidak melewatkan satu hal yang sangat ingin kami lakukan dan masuk dalam to do list saat bertemu Ayu; photo box! Yap. Kami menunggu antrean yang, wuh, panjaaaang sekali. Kukira di hari libur ini mereka tidak punya kegiatan lain selain menangkap diri mereka sendiri dalam beberapa lembar gambar berwarna, tapi hey, aku juga melakukannya!
Setelah menunggu cukup lama, kami berempat pun masuk ke dalam 'kotak' ajaib yang bisa menghasilkan lembaran foto. Bergaya begini, bergaya begitu, ah, sungguh menyenangkan. Satu hal yang jarang bisa kami lakukan bersama Ayu. Hal ini, kusebut dengan "Menangkap Momen".
Seperti kata orang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Sekarang, Ayu sudah kembali ke kota kelahirannya, Kediri. Untuk beberapa lama, kami tidak akan bisa bertukar cerita penuh ekspresi lagi. Memberi lambaian selamat tinggal dan kecupan pipi kanan-kiri pada Ayu hampir membuatku tersedu. Aaaah Ayuuu, aku masih rindu padamuuu.
Oh iya, nanti akan kuunggah video yang telah kami buat untuk ulang tahun Ayu yang ke-19 pada 17 Desember lalu. Kalian, yang membaca blog ini, bisa coba cek videonya di akun YouTube aku.
Kemarin, sahabat lama sekaligus (mantan) teman satu kamar kos, Ayu, akhirnya menemukan kesempatan untuk bertemu aku dan teman-teman lain. Senang? Bahagia? Gembira? Sudah pasti. Kami sudah lama menanti saat kepulangan Ayu ke Surabaya, bahkan kami sudah membuat daftar apa-apa saja yang akan dilakukan selama Ayu di Surabaya.
Tapi...
Ternyata harapan nggak sejalan dengan kenyataan. Ayu cuman punya waktu nggak sampai dua hari di Surabaya. Kemarin dia datang pukul delapan malam, yang artinya nggak memungkinan bagi kami untuk menghabiskan waktu di luar. Setelah melalui satu diskusi panjang, akhirnya kami putuskan untuk mengenang masa-masa ketika Ayu masih merantau di kota yang sama dengan kami esok hari (hari ini).
Pagi ini, kami mengawali hari dengan pergi ke kampus. Awalnya sih, karena aku memang ada kumpul untuk satu acara jurusan, namun ternyata Ayu menyusulku dan kami berjumpa beberapa teman. Selepas dari kampus kami beranjak mencari tempat makan. Kami berangkat berlima; Ayu, Aku, Yesi, Ravita, dan Sarah. Tapi setelah makan siang, Sarah terpaksa balik duluan karena ada janji. Yah, walau tanpa Sarah, acara melepas rindu bareng Ayu harus tetep jalan, dong! Makaaa, kami pun tancap gas menuju Tunjungan Plaza (TP).
Tentu saja di sana kami tidak melewatkan satu hal yang sangat ingin kami lakukan dan masuk dalam to do list saat bertemu Ayu; photo box! Yap. Kami menunggu antrean yang, wuh, panjaaaang sekali. Kukira di hari libur ini mereka tidak punya kegiatan lain selain menangkap diri mereka sendiri dalam beberapa lembar gambar berwarna, tapi hey, aku juga melakukannya!
Setelah menunggu cukup lama, kami berempat pun masuk ke dalam 'kotak' ajaib yang bisa menghasilkan lembaran foto. Bergaya begini, bergaya begitu, ah, sungguh menyenangkan. Satu hal yang jarang bisa kami lakukan bersama Ayu. Hal ini, kusebut dengan "Menangkap Momen".
Seperti kata orang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Sekarang, Ayu sudah kembali ke kota kelahirannya, Kediri. Untuk beberapa lama, kami tidak akan bisa bertukar cerita penuh ekspresi lagi. Memberi lambaian selamat tinggal dan kecupan pipi kanan-kiri pada Ayu hampir membuatku tersedu. Aaaah Ayuuu, aku masih rindu padamuuu.
Oh iya, nanti akan kuunggah video yang telah kami buat untuk ulang tahun Ayu yang ke-19 pada 17 Desember lalu. Kalian, yang membaca blog ini, bisa coba cek videonya di akun YouTube aku.
Monday, December 23, 2013
Hal Ini #9
Tiada yang bisa mengalahkan kelegaan setelah mencurahkan isi hati pada seorang ibu. Mendengar suara mama di seberang telepon sana, hatiku rasanya plong. Dengan sabar mama mendengarkan segala keluh kesahku melalui sambungan telepon. Aku bercerita ini dan itu hingga tak sadar suaraku mulai bergetar, makin lama makin terbata. Lalu dengan suara lembutnya mama berkata, “Udah nggak usah nangis… Nggak apa-apa nak, nggak usah dipikir…” Aku hanya mampu terdiam.
Kemudian mama melanjutkan ucapannya. “Ini cuman kerikil kecil, nggak usah terlalu dipikir. Berarti mbak Kiky ini udah melewati proses jadi calon pemimpin. Kamu kalau mama lihat kan sudah berubah, dulu dikit-dikit nangis, sekarang sudah mulai tegar. Kamu harus tegas, nak. Kalau kamu nggak bisa ngatasin gini aja, nanti gimana kalau di luar negeri, nggak ada mama? Hayo…”
Tangisanku makin menjadi.
Ah, mama ini. Tak pernah kulewati seharipun tanpa bersyukur pada Allah karena mengirimiku malaikat seperti mama. Setiap masalah apapun yang membebani, terasa ringan begitu aku membagi cerita dengan mama.
“Udah, sekarang mbak Kiky istirahat aja. Kamu di mana sekarang? Udah makan? Udah solat? Kalau malam gini nggak apa-apa minum demacolin aja. Ndang sembuh, jangan sakit-sakitan, jangan kecapekan…”
Entahlah, diperhatikan mama seperti ini harusnya aku merasa senang. Aku memang senang, namun air mata tetap tak henti mengucur deras membasahi pipi. Menceritakan apa yang membuat sesak hati pada mama terkadang memberikanku perasaan bersalah. Mama sudah terlalu banyak beban pikiran, dan sekarang, aku malah menambahi pikiran mama. Tapi harus pada siapa lagi aku bercerita kalau bukan pada mama? Hanya mama yang mengerti aku, yang mampu membuatku tenang, penyemangat hari-hariku kala aku bersedih.
Aku rindu mama.
Maafkan aku karena selalu menjadi beban untukmu, Ma. Doakan semoga aku bisa segera membahagiakanmu.
Kemudian mama melanjutkan ucapannya. “Ini cuman kerikil kecil, nggak usah terlalu dipikir. Berarti mbak Kiky ini udah melewati proses jadi calon pemimpin. Kamu kalau mama lihat kan sudah berubah, dulu dikit-dikit nangis, sekarang sudah mulai tegar. Kamu harus tegas, nak. Kalau kamu nggak bisa ngatasin gini aja, nanti gimana kalau di luar negeri, nggak ada mama? Hayo…”
Tangisanku makin menjadi.
Ah, mama ini. Tak pernah kulewati seharipun tanpa bersyukur pada Allah karena mengirimiku malaikat seperti mama. Setiap masalah apapun yang membebani, terasa ringan begitu aku membagi cerita dengan mama.
“Udah, sekarang mbak Kiky istirahat aja. Kamu di mana sekarang? Udah makan? Udah solat? Kalau malam gini nggak apa-apa minum demacolin aja. Ndang sembuh, jangan sakit-sakitan, jangan kecapekan…”
Entahlah, diperhatikan mama seperti ini harusnya aku merasa senang. Aku memang senang, namun air mata tetap tak henti mengucur deras membasahi pipi. Menceritakan apa yang membuat sesak hati pada mama terkadang memberikanku perasaan bersalah. Mama sudah terlalu banyak beban pikiran, dan sekarang, aku malah menambahi pikiran mama. Tapi harus pada siapa lagi aku bercerita kalau bukan pada mama? Hanya mama yang mengerti aku, yang mampu membuatku tenang, penyemangat hari-hariku kala aku bersedih.
Aku rindu mama.
Maafkan aku karena selalu menjadi beban untukmu, Ma. Doakan semoga aku bisa segera membahagiakanmu.
Sunday, December 22, 2013
Hal Ini #8
“Buatku sih, asalkan sudah mengungkapkan dan mengutarakan yang sesungguhnya, pasti bakalan terasa lega. Ya kan?”
“Nggak. Sebenernya yang bikin lega itu satu; kalau kita bisa menerima keadaan.”
“Nggak. Sebenernya yang bikin lega itu satu; kalau kita bisa menerima keadaan.”
-Penggalan percakapan dengan seorang teman malam tadi. Dan aku setuju.
Saturday, December 21, 2013
Hal Ini #7
Sejak saat itu, hari-hariku selalu kuhabiskan dengan mengutuk diri sendiri. Tiap desir itu terasa, dan aku mulai melengkungkan senyum, tiap itu pula aku seakan tertampar oleh kenyataan. Kenyataan bahwa aku hanyalah seorang pemuja rahasiamu dan kau tak akan menyadari keberadaanku.
Sungguh aku tak ingin menyalahartikan tatapan matamu yang meneduhkan; senyuman di wajahmu yang menghangatkan; juga kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari bibirmu yang membuat perasaan tak keruan.
Mendapatkan perhatian-perhatian kecil darimu, yang sebelumnya kuanggap biasa saja, kini membikin hariku berwarna, bak pelangi setelah hujan. Bodohnya, aku selalu berharap agar kau lakukan hal-hal kecilmu yang sangat kunanti itu setiap kau bertemu aku.
Walau kutahu, kau tak akan.
Aku masih belum mengerti, mengapalah harus padamu aku menaruh rasa; seseorang yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku juga masih belum mengerti, mengapalah harus kurasakan perasaan ini sekarang; di waktu yang memang benar-benar tidak tepat. Aku pun masih belum mengerti, mengapalah kau lakukan banyak hal yang membuatku makin sulit melenyapkan perasaan yang tak sepantasnya ini.
Di sini, di kejauhan ini, aku menunggu saat di mana pada akhirnya aku akan berhenti menjadi pemain adegan penuh kepura-puraan yang handal. Saat di mana pada akhirnya aku berhenti mengutuk diri sendiri. Saat di mana pada akhirnya aku tak lagi bohongi satu perasaan yang kini terus bertahan. Saat di mana pada akhirnya aku akan utarakan apa yang ada dalam hati.
Hal Ini #6
Menjadi seseorang yang menikmati indahmu dari jauh itu sudah cukup bagiku. Jika pada satu waktu mata kita bertaut, lalu kau dan aku sama menyungging senyum; kuanggap itu bonus. Karena melihatmu tersenyum melihatku, adalah hal yang kudamba saat ini.
Friday, December 20, 2013
Hal Ini #5
Déjà vu (pengucapan dalam bahasa Inggris: /ˈdeɪʒɑː ˈvuː/, pengucapan bahasa Perancis: [/deˈʒa ˈvyː/]) adalah sebuah frasa Perancis yang artinya secara harafiah adalah "pernah melihat" atau "pernah merasa". Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya ialah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".
Pernahkah kau mengalami apa yang mereka sebut déjà vu?
Kalau kau menanyakan hal yang sama padaku, akan kujawab; sering. Sangat sering.
Pernah suatu ketika, aku merasa sudah mengunjungi tempat yang justru baru saja kukunjungi. Lain waktu, aku merasa sudah pernah berada di satu situasi yang sebenarnya belum pernah kualami. Sungguh familiar rasanya.
Perihal déjà vu, aku kembali merasakannya. Namun kali ini, aku menyadari betul bahwa sesungguhnya aku memang sudah pernah mengalaminya. Ini nyata, bukan sekadar mimpi atau 'penglihatan' layaknya kasus déjà vu lain.
"Kamu kenapa?"
"Ngg? Nggak apa-apa kok."
Percakapan itu.
Dulu sempat menjadi sebuah awal akan perasaan yang kini kurasakan kembali.
Percakapan itu.
Sudah pernah kuucapkan sebelumnya. Sebelum ini. Jauh sebelum ini. Same conversation, same situation, different place, different person.
Malam itu, aku seolah tersentak.
Mengetahui fakta bahwa aku menyisakan ruang di hati untuknya saja sudah membuatku terkejut, tak percayai apa yang sungguh benar kurasakan adanya. Agaknya percuma saja kuberusaha sekuat apapun untuk menepis rasa yang seharusnya tak meluap ke permukaan ini. Ia tak mau pergi, ingin lebih lama tinggal di hati.
Aku belum siap. Aku takut. Takut awalan ini akan menuju akhiran yang tak kuinginkan, sama seperti yang terjadi di kehidupan yang lampau. Aku hanya tak ingin berakhir pada akhir yang sama. Yang pedih; meninggalkan goresan di hati yang tak lagi kuketahui rupanya.
Mengapa ada hal-hal yang mau tak mau harus kita rasakan walau kita dapat menebak akan mengarah ke mana nantinya?
Thursday, December 19, 2013
Hal Ini #4
Apakah kamu salah satu dari sekian banyak yang percaya terhadap ungkapan "Ketika kamu memimpikan seseorang yang bahkan sedang tidak kamu pikirkan, tandanya orang itu sedang merindukanmu."?
Coba beritahu aku. Aku tidak tahu haruskah aku mempercayainya atau menganggapnya sebuah legenda belaka.
Coba beritahu aku. Aku tidak tahu haruskah aku mempercayainya atau menganggapnya sebuah legenda belaka.
Hal Ini #3
Satu minggu. Selama kurun waktu itu, aku tidak bertemu dengannya. Rindu, sudah pasti. Namun tak ada yang dapat kulakukan selain menunggu liburan usai. Ya. Pertemuanku dengannya hanya akan terjadi kala aku berada di kota rantauan. Kita tidak berasal dari kota yang sama. Itulah mengapa sulit bagiku untuk dapat sewaktu-waktu mengajaknya berjumpa.
Lama tak bersua, akhirnya tibalah saat yang kutunggu.
"Baru juga nggak ketemu seminggu, kamu udah gendutan aja, nih!" Seruku begitu aku melihatnya berjalan dari kejauhan di koridor kampus. Dia menautkan alis.
"Ada juga kamu tuh yang makin gendut. Weeek!" Sial, dia balik mengejekku. Aku memasang muka cemberut. Dia tertawa. Aku menghampirinya, kemudian mencubit perutnya yang kini membuncit. Gemas.
Dia tertawa. Lalu balas mencubit lenganku.
"Iiiiih lengan kamu lemaknya berapa kilo sih?" Godanya. Aku tertawa. Kami tertawa bersama.
Aku dan dia memang sudah lama berteman. Namun kedekatan kita baru terasa beberapa bulan belakangan. Tak pernah terbesit di pikiranku untuk mengubah pertemanan ini menjadi suatu hubungan yang lebih. Walau kuakui, aku memang mengaguminya. Dia seorang yang pandai, tidak banyak bicara, kreatif, low profile, dan yang paling membuatku terkesima, dia tidak segan membantu teman lain saat kesusahan.
Tapi, entah. Akhir-akhir ini aku seolah selalu menunggu momen untuk bertemu dengannya. Seperti hampa saat tak bersamanya. Belum lagi, dia juga sering mengajakku keluar. Sekadar makan siang atau malam bersama, atau bahkan hanya jalan-jalan mengitari kota. Embuh. Ini bukan perasaan yang biasa, karena aku belum pernah mengalaminya sebelumnya.
Mana pernah aku diam-diam menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman kepada teman baikku. Hingga detik ini, aku selalu mengutarakan apa saja yang kurasa ketika berteman dengan siapapun, termasuk ketika aku menyukainya lebih dari sekadar teman biasa. Tak pernah aku memendam perasaan sebegini hebatnya.
Bagaimana jika seandainya dia tahu perasaan ini?
Lama tak bersua, akhirnya tibalah saat yang kutunggu.
"Baru juga nggak ketemu seminggu, kamu udah gendutan aja, nih!" Seruku begitu aku melihatnya berjalan dari kejauhan di koridor kampus. Dia menautkan alis.
"Ada juga kamu tuh yang makin gendut. Weeek!" Sial, dia balik mengejekku. Aku memasang muka cemberut. Dia tertawa. Aku menghampirinya, kemudian mencubit perutnya yang kini membuncit. Gemas.
Dia tertawa. Lalu balas mencubit lenganku.
"Iiiiih lengan kamu lemaknya berapa kilo sih?" Godanya. Aku tertawa. Kami tertawa bersama.
Aku dan dia memang sudah lama berteman. Namun kedekatan kita baru terasa beberapa bulan belakangan. Tak pernah terbesit di pikiranku untuk mengubah pertemanan ini menjadi suatu hubungan yang lebih. Walau kuakui, aku memang mengaguminya. Dia seorang yang pandai, tidak banyak bicara, kreatif, low profile, dan yang paling membuatku terkesima, dia tidak segan membantu teman lain saat kesusahan.
Tapi, entah. Akhir-akhir ini aku seolah selalu menunggu momen untuk bertemu dengannya. Seperti hampa saat tak bersamanya. Belum lagi, dia juga sering mengajakku keluar. Sekadar makan siang atau malam bersama, atau bahkan hanya jalan-jalan mengitari kota. Embuh. Ini bukan perasaan yang biasa, karena aku belum pernah mengalaminya sebelumnya.
Mana pernah aku diam-diam menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman kepada teman baikku. Hingga detik ini, aku selalu mengutarakan apa saja yang kurasa ketika berteman dengan siapapun, termasuk ketika aku menyukainya lebih dari sekadar teman biasa. Tak pernah aku memendam perasaan sebegini hebatnya.
Bagaimana jika seandainya dia tahu perasaan ini?
Proyek #30HariMenulis
Demi meningkatkan produktivitas. |
Berawal dari ngobrol-ngobrol ringan sama mas Pandu, kakak tingkat di MMB, tentang gimana caranya jadi blogger yang keren, tercetuslah ide ini. Proyek #30HariMenulis ini sebenernya kubikin supaya aku bisa lebih produktif dalam hal tulis-menulis. Biar balik kaya dulu lagi yang hampir tiap hari posting di blog. Nah, kemarin, aku sudah mengawalinya dengan ngepost Hal Ini #1 dan Hal Ini #2. Oke, publikasinya emang telat. Maaf. :|
Tadi sore, sewaktu kuliah, aku ngajak Ravita, temen sekelas yang hobi nulis juga, buat ikutan proyek iseng ini. Kalau blogger-blogger lain juga berminat ikutan, silakan. Aku malah seneng kalau ada yang pengin ikutan juga. Biar bisa produktif bareng. :D
So guys, if you are interested and wanna join my project, let me know by sending me your blogpost link on twitter or comment on this post. Thank you! ;)
Wednesday, December 18, 2013
Hal Ini #2
Setelah tragedi beberapa waktu lalu, tidakkah aku dapat mengambil, paling tidak, sebuah pelajaran berharga? Jika memang pelajaran berharga itu benar kuambil, lalu mengapa masih saja kulakukan kesalahan yang sama; membohongi perasaan diri sendiri?
Hal Ini #1
"Eh, aku kalau pake ini keren nggak?" Dia bertanya padaku sambil membetulkan lengan bajunya yang pendek. Aku yang saat itu sedang duduk terdiam memandang langit senja, menoleh. Memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung sepatu.
"Waaah, iya! Kamu lebih keren pake baju yang model begini!" Tanpa kusadari, aku menjawab pertanyaannya penuh semangat dengan senyum yang merekah lebar. Dia tersenyum.
Senyum itu.
Tidak pernah aku membayangkan akan sebegini candu. Selama aku mengenalnya, sudah teramat sering aku mendapatkan senyum itu darinya. Namun akhir-akhir ini, seperti ada perasaan yang lain. Yang kosong, ketika sehari saja aku tak menangkap senyum dari bibir itu.
"Trus, aku kelihatan keren kalau pake baju yang kaya gimana lagi, nih?"
Aku terdiam sejenak.
Tidak pernah sebelumnya hatiku membisikkan kalimat ini; kamu kan memang sudah keren. Apa-apaan ini?
"Mmm... kayanya kamu lebih cocok kalau pake kemeja trus lengannya dilipet sampe siku gitu, deh. Trus kumisnyaaa, tetep tipis kaya gitu aja. Lucuk!" Aku terus berceloteh tentang apa-apa yang kurasa akan membuatnya tampil lebih menawan. Dia hanya mengangguk, tersenyum, sesekali melihat kerapihan benda-benda yang menempel di tubuhnya.
Melihatnya seperti itu, tiba-tiba saja senyumku mengembang. Seolah mengisyaratkan betapa ucapanku sangat berarti untuknya. Walau kutahu, sesungguhnya tiada begitu berarti.
"Makasih sarannya, yaa! Aku mau tampil lebih keren lagi dari sekarang!"
Ya ampun, dia begitu bersemangat. Aku hanya tertawa mendengar kata demi kata yang terucap dari mulutnya. Ah, ada apa denganku?
Kembali ku menatap senja.
Indah.
Namun senjaku yang indah kali ini terasa berbeda. Entah. Aku mengembangkan senyum di wajahku terus-menerus tanpa henti. Hingga matahari bersembunyi di balik langit malam. Hingga kumandang adzan maghrib terdengar. Hingga akhirnya kusadari, ada ruang yang tersita di hati.
Monday, December 16, 2013
Ada ONE dalam Indonesia
*bersihin blog yang berdebu* *ceritanya banyak sarang laba-labanya saking lamanya nggak dikunjungi*
Selamat malam, dunia! (bacanya harus pakai nada lagunya Jikustik yang Selamat Malam Dunia)
Hm, sudah lama nggak menyempatkan waktu buat menulis di blog. Terakhir kali kapan, ya? Padahal tahun sudah hampir berganti loh ini. Maaf ya, blog kesayangankuuuu. Aku terlalu (sok) sibuk ini itu hingga melupakanmu.
Oke, cukup basa-basinya.
Beberapa waktu ini, aku sedang kepikiran negeri tempatku berpijak selama ini. Tempatku dilahirkan dan dibesarkan delapan belas tahun ini. Ya. Indonesia.
Entah apa yang membuatku segini kepikirannya sama Indonesia.
Memangnya, apa sih yang ada di pikiranku mengenai Indonesia?
Begini...
Selamat malam, dunia! (bacanya harus pakai nada lagunya Jikustik yang Selamat Malam Dunia)
Hm, sudah lama nggak menyempatkan waktu buat menulis di blog. Terakhir kali kapan, ya? Padahal tahun sudah hampir berganti loh ini. Maaf ya, blog kesayangankuuuu. Aku terlalu (sok) sibuk ini itu hingga melupakanmu.
Oke, cukup basa-basinya.
Beberapa waktu ini, aku sedang kepikiran negeri tempatku berpijak selama ini. Tempatku dilahirkan dan dibesarkan delapan belas tahun ini. Ya. Indonesia.
Entah apa yang membuatku segini kepikirannya sama Indonesia.
Memangnya, apa sih yang ada di pikiranku mengenai Indonesia?
Begini...
Subscribe to:
Posts (Atom)